pss-web-logopss-web-logopss-web-logopss-web-logo
  • HOME
  • PSS DUREN
    • A Little Story of Gudskul
    • Zodiac of PSSDuren
    • Past Projects
      • Praktik Spasial | E-Flux
      • Audio Guides for National History Museum
      • Talking About Dhaka and the Summit
  • TE.Inc
    • Our Experiences with Residency Artists
  • PROGRAMS
    • OSLOW
      • OpenLab v.01 – OSLOW
    • Koramal
    • Toko B/U
  • OUR TEAM
    • Ahmad Hilal
      • Artifacial
    • Duta Adipati
    • Gusmarian
      • Swasembada Ala Petani Kesorean
    • Lilu Herlambang
      • Chaotic Sitting
    • Ratih Ardianti
      • .riuh di balik redam.
        • Sejenak Activity sheet
  • PARTNERS
    • Bengkel 3 & 4
    • Sikukeluang
    • Ruangrupa
    • Serrum
    • Grafis Huru Hara
    • Gudskul
    • RURU radio
  • CONTACT US

Gusmarian

Gusmarian

Gusmarian atau yang biasa dipanggil Acong lahir di Kabupaten Rokan Hilir tahun 1996. Dalam 2 tahun terakhir ia tergabung di Rumah Budaya Sikukeluang yang berlokasi di Riau. Kini ia sedang mempersiapkan sebuah proyek seni berjudul Cukil Asap yaitu sebuah proyek yang secara kritis coba menggugah kembali memori kolektif dalam masyarakat tentang apa yang orang-orang gunakan dalam kesehariannya; . khususnya  yang terkait dengan kontribusi mereka terhadap perusakan hutan tropis atau tanah gambut. Acong giat menyebarkan kampanye lingkungan, kritis terhadap produk yang digunakan serta gemar berbagi pengetahuan bersama tentang lingkungan.  

Sudah 22 tahun, Riau terdampak kabut asap akibat pembakaran lahan dan hutan yang didominasi oleh perkebunan sawit dan akasia—yang adalah bahan baku utama untuk pembuatan kertas. Acong ingin mengembangkan proyek Cukil Asap  sebagai media kampanye untuk membuka pemahaman masyarakat terkait permainan lancung penguasa dan pengusaha, yang juga adalah bentuk kritiknya terhadap efek konsumsi dalam kehidupan sehari-hari manusia yang tentunya melibatkan hutan.

Gusmarian, nicknamed Acong, was born in Rokan Hilir Regency in 1996. In the last 2 years he joined the Sikukeluang Cultural House located in Riau. Now he is preparing an art project called Cukil Asap which is a project that critically tries to reawaken the collective memory in society about what people use in their daily lives; especially those related to their contribution to the destruction of tropical forests or peatlands. Acong is active in spreading environmental campaigns, is critical of the products used and likes to share knowledge about the environment.

It has been 22 years since Riau has been affected by the haze due to land and forest fires dominated by oil palm and acacia plantations – which are the main raw material for paper making. Acong wants to develop the Cukil Asap project as a campaign media to open up people’s understanding of the rancid play of the authorities and entrepreneurs, which is also a form of criticism of the effects of consumption in people’s daily lives which naturally involves the forest.

personal project

Petani Kesorean

SEBERMULA KETIKA KAMI NONGKRONG di Gudskul mengisi waktu kosong sembari mengerjakan Alat Pelindung Diri (APD) Faceshield. Pembuatan APD ini merupakan suatu bentuk kegiatan sosial mengingat di masa pandemi covid-19 banyak tenaga medis yang kekurangan APD seperti faceshield, baju hazmat dan gown. 

Ketika mengerjakan APD dan nongkrong timbullah obrolan mengenai pandemi ini yang mengakibatkan banyak sektor perekonomian yang mandek. Berita-berita pengurangan karyawan di perusahaan – perusahaan banyak bermunculan. Dengan obrolan tersebut tercetus obrolan masalah ketahanan pangan dan bagaimana cara menyikapi isu ketahanan pangan tersebut. Hingga muncul ide untuk membuat ketahanan pangan mandiri dengan memulai bercocok tanam memanfaatkan lahan–lahan kosong yang ada di Gudskul Ekosistem.

Dengan ide tersebut, kami langsung mencoba mengkomunikasikan ke Pak Wacil sebagai Manager Veneu di Gudskul, untuk meminta izin menggunakan sepetak lahan yang berada di belakang Aula Gudskul. Namun dari obrolan Pak Wacil, lahan tersebut tidak dapat di gunakan karena status lahan tersebut tidak di ketahui siapa pemiliknya. Tapi, ada lahan berukuran sekitar 2 x 10 meter yang bisa di gunakan yaitu di belakang area Gudside yang berdampingan dengan Gudskul.

Berangkat dengan ide, niat dan tidak mengerti tentang bercocok tanam, Amy dan Acong pun mulai menggarap lahan tersebut dengan membersihkan, menggemburkan tanah hingga pencampuran tanah dengan kompos. Proses menggarap lahan itu juga di bantu beberapa kali oleh temen-temen di Gudskul, seperti Supri dari tim bersih di Gudskul dan juga Bude seorang penjual nasi rames yang ada di kantin Gudskul. Melihat Bude yang membantu menyangkul membuat kami semakin bersemangat untuk bercocok tanam.

Sembari itu, Acong dan Hasrul juga mengikuti kelas daring tentang berkebun yang diadakan oleh Gudskul untuk belajar bagaimana proses bercocok tanam dan bersama– sama riset sayuran dengan kriteria cepat panen dan yang bisa menggantikan sumber karbohidrat, juga tanaman yang bisa mendukung keseharian untuk masak – memasak seperti : 

  • Jagung
  • Cabe
  • Tomat
  • Sawi
  • Pakcoy
  • Kangkung
  • Timun

    Dan temu temuan seperti :
  • Jahe
  • Lengkuas
  • Kunyit
  • Dll

Amy mulai membeli kompos media tanam, Hasrul dan Rifandi juga support untuk membeli benih-benih yang akan di tanam. Setelah kompos di campur ke tanah yang ada dil ahan dan benih-benih tanaman juga sudah ada, Acong, Rahmat dan Iko mulai menyemai hingga tumbuh dan siap untuk di pindah ke lahan yang sudah di garap dan disiapkan sebelumnya.

Bermain dengan instalasi

Setelah tanaman di pindah ke lahan dan di rawat muncul ide dari Rifandi untuk membuat sistem bercocok tanam dengan hidroponik. Proses untuk membuat hidroponik juga memanfaatkan pagar yang berada di depan Gudskul dan memanfaatkan bahan-bahan sisa yang tak terpakai seperti pipa paralon. Dan kami juga diberitahu oleh Mushowir Bing atau yang biasa kami panggil Ayahbing seorang seniman yang menyewa studio di Gudside, ada paralon bekas di samping studionya. Dan mendapat izin juga oleh Pak Wacil paralon itu boleh di gunakan.

Secara teknis instalasi Rifandi sudah mengerti, karena hidroponik adalah sistem bercocok tanam menggunakan air yang diberi nutrisi dan terus mengalir di paralon yang berisi pot-pot dan tanamannya. Teknisnya, menggunakan 1 tandon/ember air yang diberi nutrisi dan mesin untuk mengaliri ke pipa-pipa paralon, kemudian air yang keluar dari pipa paralon masuk kembali ke tandon/ember. 

“Hidroponik juga merupakan solusi terakhir untuk orang-orang yang ingin bercocok tanam namun tidak memiliki lahan yang luas,” Kata Sayu Komang seorang pemateri di kelas online berkebun.

Pengerjaan membuat hidroponik juga dikerjakan bersama-sama. Rifandi, Hasrul dan Amy juga secara bersama membeli peralatan pendukung sistem hidropnik seperti mesin air, kran air, pot dan rockwool media tanamnya. Dalam pengerjaan juga dibantu teman-teman Gudskul seperti  Lindung untuk melubangi pipa paralon, karena dia juga sedang memulai bercocok tanam secara hidroponik di kontrakannya. Kami juga dibantu oleh Digel memasang instalasi kelistrikan untuk mesin air tersebut.

Timbul masalah

Namun setelah beberapa hari instalasi terpasang dan di isi tanaman seperti sawi dan pakcoy, mulailah di pindah ke instalasi. Ada kendala yang didapati Ketika mulai memindahkan tanama ke instalasi. Beberapa tanaman stres dan perlahan banyak yang mati. Dari beberapa versi yang di dapat dari cerita-cerita orang yang mengerti dan melihat permasalahan dari youtube, instagram dan media online lainnya, tanaman mati di sebabkan berlebihan nutrisi, sinar matahari yang terlalu terik, dan ada yang menyatakan karena pengaruh di pinggir jalan terlalu banyak gas karbon dari kendaraan.

Dari permasalahan itu akhirnya Rahmat memanggil temannya yang mengerti tentang hidroponik dan hasil yang kami dapat adalah karena kesalahan membaca kadar nutrisi di air menggunakan TDS meter ( Total Dissolved Solids ) atau secara sederhana yaitu “padatan terlarut” yang ada di air. Karena di TDS meter hanya mengeluarkan 3 digit angka yang apabila kadar nutisinya melebihi dari 1000 maka di TDS meter akar keluar x 10 di belakangnya. Sementara, yang kami tau 3 digit angka di TDS meter tanpa embel-embel x 10 sudah dikalikan 10.

Setelah semua di perbaiki, menyemai ulang, perbaiki dan menambah kadar nutrisi, diberi atap menggunakan paranet dan sisi pagar bagian luar ke jalan juga di pasang paranet. Tanaman di hidroponik menunjukkan progres yang baik, daun semakin besar dan batang juga membesar. 1 minggu sekali tanaman juga di beri pupuk daun seperti gandasil. Menggunakan gandasil juga mudah cukup di larutkan ke air dan di semprot ke tanamannya.

Tanpa di sadari ketika Pak Wacil pulang ke rumahnya di depok. Pak Wacil juga menularkan semangat kami bercocok tanam ke pemuda-pemuda yang ada di sekitaran rumahnya. Pak wacil berhasil mengajak pemuda-pemuda itu juga ikut menanam dan membuat kebun baik di tanah maupun hidroponik juga memanfaatkan lahan-lahan kecil yang ada di sekitar rumah mereka.

Tak sampai di lahan tanah belakang dan hidroponik saja. Kami juga membuat sistem aquaponik sama dengan hidroponik. Namun, yang membedakan hidroponik dan aquaponik ialah hidroponik hanya di tanam sayuran sedangkan aquaponik selain sayuran ia juga bisa ternak ikan di dalam tandon/embernya dan juga tidak perlu memberi nutrisi ke airnya, karena nutrisi untuk sayurannya di dapat melalui sisa-sisa makanan dan kotoran dari ikan tersebut.

Namun kami tidak membuat sistem aquaponik dengan begitu, melainkan kami membuatnya menggunakan ember dan di beri tanaman di sekeliling embernya atau yang lebih di kenal dengan budikdamber (budidaya ikan di dalam ember). Di budikdamber ini kami memilih ikan lele dan kangkung sebagai tanamannya. Ide budikdamber ini kami dapat berkat semangat teman-teman untuk terus saling berbagi pengetahuan baru yang di dapat dari bercerita ke orang-orang maupun dari media daring.

Investasi modal dan waktu

Untuk modal membeli ini dan itu di kami bisa di bilang bersifat investasi. Investasi di sini bukan hanya soal materi, melainkan berupa tenaga, waktu, dan ide-ide atau pengetahuan yang bisa di bagi ke sesama.

Hasil dari tanaman sayuran tersebut, baik yang di lahan tanah belakang, hidroponik, dan budikdamber, selain kami konsumsi sendiri, juga kami bagikan ke teman-teman di gudskul bagi yang mau walaupun hasilnya tidak banyak. Melihat hasilnya yang tidak banyak akhirnya kami mencoba membuat bisnis budikdamber, yaitu menjual paket budikdamber yang terdiri dari ember, bibit ikan lele, cup plastik serta benih kangkung dan media tanamnya.

Menjual paket budikdamber ini bertujuan selain bisa mengcover biaya yang sudah di keluarkan, juga sebagai media untuk membagi sedikit pengetahuan untuk orang-orang yang ingin memulai bercocok tanam namun tidak punya lahan dan tidak mengerti bercocok tanam. Di paket budikdamber ini setiap pembeli mendapatkan tutorial untuk merangkai budikdamber. Tutorial ini di buat oleh Wiratama seorang komikus dan illustrator dari medan yang kini tinggal di Jakarta dan juga aktif berkegiatan di Gudskul.

Menjual paket budikdamber ini juga dibeli beberapa teman-teman di Gudskul dan beberapa juga menitipkan dan minta di rawatkan oleh kami juga. Seperti Kak Asung yang kini berada di Kassel Jerman. Panen pertama kangkungnya di diolah Dhigel. Kebahagian bercocok tanam, merawat, dan memanen itu bukan kami dan Kak asung saja yang mendapatkannya, tetapi kebahagian itu juga kami bagi ke teman-teman yang lainnya.

Panen lele pertama kalinya dan panen kangkung ke empat kalinya, kami juga mengajak kelompok masak Sedap Malam untuk memasak hasil panen dan membuat acara makan bersama-sama dengan teman-teman yang ada di Gudskul.

Dan dengan latar belakang orang-orang bukan dari pertanian, melainkan seniman, desainer, guru, dan sering  dari kami jarang bangun pagi maka kami membuat satu hastag yaitu #petanikesorean.

WHEN WE STARTED IN Gudskul, we spent some free time working on our Faceshield Personal Protective Equipment (PPE). Making PPE is a form of social activity considering that during the Covid-19 pandemic, many medical personnel lacked PPE such as faceshields, hazmat suits and gowns.

While working on PPE and nongkrong, they started a chat about this pandemic, which resulted in many sectors of the economy stagnating. There was a lot of news that companies were dropping out workers. Within this talk, a conversation about food security was sparked and how to address the issue of food security. So the idea emerged to create independent food security by starting to cultivate the land using empty land in the Gudskul Ecosystem.

With this idea, we immediately tried to communicate to Pak Wacil, the Venue Manager in Gudskul, to ask permission to use the piece of land behind the Gudskul Auditorium. However, from Pak Wacil’s chat, the land could not be used because the land’s status was unknown. However, there is a land measuring about 2 x 10 meters that can be used, which is behind the Gudside area which is adjacent to Gudskul.

Departing with ideas, intentions and not understanding about farming, Amy and Acong began working on the land by cleaning, loosening the soil, and mixing the soil with compost. The process to work the land was supported by friends from Gudskul, such as Supri from the cleaning team in Gudskul and Bude, one of the food vendors in the Gudskul canteen. Seeing Bude helping the hoe made us even more excited to grow crops.

Meanwhile, Acong and Hasrul also took part in an online class on gardening held by Gudskul to learn how to grow crops and jointly research vegetables that harvest fast and which can replace sources of carbohydrates, as well as plants that can support daily cooking – cooking like :

  • Corn
  • Chili
  • Tomato
  • Sawi
  • Pakcoy
  • Kale
  • Cucumber

And meet findings such as:

  • Ginger
  • Galangal
  • Turmeric
  • Etc

Playing with the installation

After the plants were moved to the land and cared for, an idea from Rifandi emerged to create a hydroponic farming system. The process for making hydroponics also utilizes the fence in front of Gudskul and utilizes waste materials such as paralon pipes. And we were also told by Mushowir Bing or what we used to call Ayahbing, an artist who rented a studio in Gudside, that there is a former paralon next to his studio, and got permission by Pak Wacil the paralon can be used.

Rifandi is familiar with the installation techniques, because hydroponics is a farming system that uses water that is nourished and continues to flow in paralons containing pots and plants. Technically, it uses 1 water reservoir / bucket that is given nutrition and a machine to flow to the pipes, then the water that comes out of the pipe goes back into the reservoir / bucket.

“Hydroponics is also the last solution for people who want to grow crops but do not have a large area of ​​land,” said Sayu Komang, a speaker in an online gardening class.

 

The work on making hydroponics is also done together. Rifandi, Hasrul and Amy also jointly purchased supporting equipment for the hydroponic system, such as a water machine, water faucet, pots and rockwool planting media. In the process, Gudskul’s friends such as Lindung were also assisted to make a hole in the paralon pipes, because he was also starting to cultivate hydroponically in his rented house. We were also assisted by Digel to install an electrical installation for the water machine.

A problem arise

But after a few days the installation was installed and the contents of plants such as mustard greens and pakcoy, we began to move it to the installation. There were problems encountered when moving plants to the installation. Some plants are stressed and many die slowly. From several versions obtained from stories of people who understand and see problems from YouTube, Instagram and other online media, dead plants are caused by excessive nutrition, the sun is too hot, and some say that due to the influence on the roadside there is too much gas carbon from the vehicle.

From that problem, finally Rahmat called his friend who understood hydroponics and the results we got were due to an error reading the nutrient levels in the water using a TDS meter (Total Dissolved Solids) or simply “dissolved solids” in water. Because the TDS meter only issues 3 digit numbers, if the nutrient content exceeds 1000, then in the TDS meter the root comes out x 10 behind it. Meanwhile, what we know is that the 3 digit number on the TDS meter without any frills x 10 has been multiplied by 10.

After everything is repaired, re-seeded, repaired and added nutrients, given a roof using a paranet and the outer side of the fence to the road also installed. Plants in hydroponics show good progress, bigger leaves and enlarged stems. Once a week the plants are also given leaf fertilizer such as gandasil. Using gandasil is also easy to dissolve it in water and spray it on the plants.

Without realizing it, Pak Wacil returned to his house in Depok. Pak Wacil also passed on our enthusiasm for farming to the youths around his house. Pak Wacil succeeded in getting the young men to be inspired with hydroponics and to start utilizing the small land around their house.

It wasn’t just that- we also make aquaponics systems the same as hydroponics. However, what distinguishes hydroponics and aquaponics is that hydroponics is only planted in vegetables, while aquaponics in addition to vegetables can also raise fish in the reservoir / bucket and also do not need to provide nutrients to the water, because the nutrients for vegetables can be obtained through food scraps and dirt from these fish.

However, we made it using a bucket and given plants around the bucket or what is better known as budikdamber (fish farming in a bucket). In this budikdamber we chose catfish and kale as the plants. Thanks to the enthusiasm of our friends, this budikdamber idea continues to share new knowledge that they get from telling stories to people and from online media.

Capital investment and time

For capital to buy this and that, we can say it is an investment. Investment here is not just a matter of material, but in the form of energy, time, and ideas or knowledge that can be shared with others.

The results of these vegetable crops, both in the back soil, hydroponics, and cultivation, besides we consume it ourselves, we also share it with friends in Gudskul for those who want it even though the results are not much. Seeing the results that were not much, we finally tried to make a budikdamber business, which was to sell a budikdamber package consisting of buckets, catfish seeds, plastic cups and water spinach seeds and planting media.

Selling this budikdamber package aims to not only cover the costs already spent, but also as a medium to share a little knowledge for people who want to start farming but do not have land and do not understand farming. In this budikdamber package, every buyer gets a tutorial for assembling budikdamber. This tutorial was made by Wiratama, a comic artist and illustrator from Medan who now lives in Jakarta and is also active in Gudskul.

Some friends also bought this budikdamber package in Gudskul and some also left and asked to be cared for by us too. Like Kak Asung who is now in Kassel Germany. The first harvest of kale was processed by Dhigel. The joy of farming, caring for, and harvesting was not only us and our brother who got it, but we also shared our happiness with our other friends.

For the first time harvesting catfish and harvesting water spinach for the fourth time, we also invited the Sedap Malam cooking group to cook the harvest and have a meal together with friends in Gudskul.

And with a background of people not from agriculture; but artists, designers, teachers, and often we rarely wake up in the morning so we made one hashtag, namely #petanikesorean.

   

© 2020 PSS Duren.