pss-web-logopss-web-logopss-web-logopss-web-logo
  • HOME
  • PSS DUREN
    • A Little Story of Gudskul
    • Zodiac of PSSDuren
    • Past Projects
      • Praktik Spasial | E-Flux
      • Audio Guides for National History Museum
      • Talking About Dhaka and the Summit
  • TE.Inc
    • Our Experiences with Residency Artists
  • PROGRAMS
    • OSLOW
      • OpenLab v.01 – OSLOW
    • Koramal
    • Toko B/U
  • OUR TEAM
    • Ahmad Hilal
      • Artifacial
    • Duta Adipati
    • Gusmarian
      • Swasembada Ala Petani Kesorean
    • Lilu Herlambang
      • Chaotic Sitting
    • Ratih Ardianti
      • .riuh di balik redam.
        • Sejenak Activity sheet
  • PARTNERS
    • Bengkel 3 & 4
    • Sikukeluang
    • Ruangrupa
    • Serrum
    • Grafis Huru Hara
    • Gudskul
    • RURU radio
  • CONTACT US

A Little Story of Gudskul

as told by Acong

Jakarta  9 September 2019 awal mula saya menginjakkan kaki di pulau seberang Sumatera, awal dimana saya di tempat baru dengan orang –orang yang baru saya kenal. Sempat terpikir di benak akankah saya bisa sampai ke ibukota? Dan pikiran itu pun terjawab. Saya berangkat ke ibukota dikarenakan adanya jejaring kolektif saya di pekanbaru (Rumah Budaya Sikukeluang) dan Gudskul ( Jakarta ) untuk mengikuti program satu tahun yang diadakan oleh Gudskul yaitu Studi kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer.

Berangkat dengan kebimbangan, mungkinkah saya bisa ? karena latar belakang saya bukanlah orang yang mengenyam pendidikan seni. Bisakah saya bertahan di ibukota? Dengan bermodal uang dari kolektif dan keyakinan saja.

Satu hal yang pertama kali menarik perhatian saya ketika berada di Gudskul, yaitu produk dari Stuffo, suatu produk yang memanfaatkan limbah banner event dan kantong plastik bekas. Awalnya saya berpikir ini hanya perihal memanfaatkan, ternyata bukan hanya itu. Limbah – limbah itu adalah arsip, yang biasa kita berpikir arsip itu hanya foto dan video. Namun, beda halnya dengan stuffo, mengarsipkan sebuah event dengan membuat produk seperti tas dari limbah event yang tanpa disadari kitalah juga ( pekerja seni ) yang membuat limbah itu. Saya juga melibatkan diri disini, saya mulai belajar berhadapan dengan orang banyak untuk ngeworkshop, biasanya saya hanya jadi peserta workshop. Alhamdulillah saya lumayan sering ikut terlibat setiap event yang mengundang Stuffo. Sayangnya untuk hal jahit – menjahit saya belum bisa sampai saat ini hehehe.

Kelas – kelas pun mulai berjalan dengan 10 subjektif yang diajarkan dari hari senin sampai jumat, dari setiap masing – masing kelas inilah aku mengerti, seni bukan tentang hanya menggambar, melukis dan semacamnya. Saya mulai meliarkan pikiran saya, karena banyak hal yang bisa di perbuat, bagaimana setiap hal itu kita narasikan, kita ceritakan, kita suarakan. Disinilah saya tau menggambar, melukis dan semacamnya hanyalah sebuah media untuk mengekpresikan apapun itu halnya.

Mengikuti program studi kolektif dan seni rupa di gudskul ini awalnya bersama 9 orang lainnya, kini tersisa 5 orang termasuk saya. 

Ada hal – hal dari kami berlima yang memiliki kesamaan dalam preferensi berkarya, seperti Hilal dengan fotografinya yang diaplikasikan menjadi meme dan dengan output cetak, Lilu dengan fotografi dan illustrasinya yang outputnya juga cetak, Duta dengan lukisan abstraknya dan sekarang mulai bermain – main dengan grafis dan membuat 3d, Diti yang selalu membuat proyek seni interaktif dengan background desain sama seperti Hilal, Lilu, dan Duta,  saya yang juga memiliki ketertarikan di grafis.

Kami mendapatkan support untuk membentuk sebuah kolektif baru sesama peserta. Yang akhirnya menjadi PSS duren, PSS duren selalu kami sebut (persekongkolan siswa selow) sebuah nama yang terinspirasi dari sebuah klub sepak bola di indonesia dan juga karena gudskul sendiri ialah gedung bekas lapangan futsal yang terletak di jalan durian, jagakarsa, jakarta selatan. PSS duren sendiri ialah sebuah kolektif yang berfokus pada praktik kerja kolaborasi lintas disiplin dalam hal meriset, mengembangkan dan memproduksi berbagai proyek seni.

Pss duren juga mengadakan workshop, seperti workshop marbling yang dijalankan oleh saya dan duta. Marbling yaitu sebuah teknik cetak dengan menggunakan media air ( water transfer ) dengan menggunakan prinsip antara minyak dan air tidak akan menyatu. Bahan yang di pakai yaitu air dan cat minyak ( oil base ) yang hasil cetak nya akan membentuk motif-motif marble. Workshop marbling ini juga membawa PSSduren sampai ke Plaza Indonesia untuk mengisi workshop dalam acara pameran yang diadakan Organisasi non-profit dalam pendidikan seni anak, yaitu Kelas Gambar, pada Februari 2020 lalu.

Selanjutnya ada program Oslow ( obrolan selow ) yang rencana awal akan kami mulai di awal maret 2020 namun akhirnya tertunda dikarenakan pandemi covid-19 ini.

Jakarta September 9, 2019 I first set foot on the island across Sumatra, where I was at a new place with people I just met. Had it occurred to me that I could get to the capital? I thought. I went to the capital because of my collective in Pekanbaru (Rumah Budaya Sikukeluang) and Gudskul (Jakarta) to take part in a one-year program organized by Gudskul namely Collective Studies and the Contemporary Art Ecosystem.

Departing with doubt and full of thoughts of “would I make it?” because I didn’t have any kind of art background. Can I survive in the capital with little money from the collective and belief alone? 

One thing that first caught my attention when I was in Gudskul was Stuffo, a product that utilizes waste from event banners and used plastic bags. Initially I thought this was just a matter of recycling, but apparently it wasn’t just that. Waste, in this case, is an archive, when what we usually think of the archive is only photos and videos. However, it is different with Stuffo, they are trying to archive an event by making by-products such as bags from event waste. I became involved in the project and slowly  began to learn to deal with people for workshops, where usually I just became a workshop participant. Alhamdulillah, I am quite often involved in every event that invites Stuffo. One thing that I haven’t been able to do until now is sewing, though, haha.

The classes in Gudskul began with 10 subjects being taught from Monday to Friday, and from each of these classes I understood- art is not about just drawing, painting and the like. I began to let my mind go, because there were so many things that could be done, how each of these things we try to narrate, to be told, to be voiced. This is where I know drawing and painting is just a medium to express whatever it is.

Following the collective study program and fine arts in Gudskul, initially with 9 other people, now there are only 5 people including me. 

There are similarities between the five of us about the topic that we’re interested in, such as Hilal with his photography which is applied to memes and with print output, Lilu with photography and illustrations whose output is also printed, Duta with abstract paintings and now begins to play around with graphic arts and making 3D works, Diti who always makes interactive art projects with the same background design as Hilal and Lilu, and Duta and I also share an interest in graphics.

We then get pushed to form a new collective with fellow participants, which eventually became the PSS Duren. The name PSS Duren (Chill Student Conspiracy) was inspired by a football club in Indonesia and also because Gudskul itself was a former futsal court building located on Durian Street, Jagakarsa, South Jakarta. PSS Duren itself is a collective that focuses on cross-disciplinary collaborative work practices in researching, developing and producing various art projects.

PSS Duren also held workshops, such as the marbling workshop run by me and Duta. Marbling is a printing technique using water media (water transfer) using the principle that oil and water will not combine. The materials used are water and oil based paint whose prints will form marble motifs. This marbling workshop also brought PSS Duren to Plaza Indonesia to make a workshop in an exhibition event held by a non-profit organization in children’s art education, namely the Kelas Gambar, in February 2020.

Furthermore, there is the Oslow (Chill Chat) program, which we planned to start in early March 2020 but eventually it was delayed due to the Covid-19 pandemic.

   

© 2020 PSS Duren.