Q1 : “Kenapa openlab?”
Hilal:”Sebenernya istilah openlab kita sepakati bersama untuk menampilkan sejauh mana proses kami dalam menggarap beberapa proyek personal dan bersama. Hasil akhir tetaplah penting, namun openlab sendiri kan memperlihatkan bagaimana proses kerja kami dalam mengartikulasikan proyek bersama-sama dan personal. Menariknya ditengah prosesnya, ada temuan-temuan yang tak diduga sebelumnya, lalu kita artikulasikan secara bersama.”
Q2 : “Persiapan Menuju openlab apa saja sih?”
Diti : “Yang pasti pertama2 kami menyiapkan konsep dan mau ngapain sih kita? lalu terjadilah meeting, briefing, brainstorming, riset, dan bagi peran. teknis, artistik, timeline, apa yg harus didisplay, layout desain pamerannya gimana, teks kuratorialnya gimana, siapa menggambar apa? Mana yang karya kolektif, mana yang personal, dan lain lain.
Hal penting lainnya kami menyiapkan diri sih haha sehat secara fisik dan siap secara mental. karena kami waktu itu berpacu dengan waktu juga. Kalo buat gue secara pribadi, mempersiapkan itu semua dengan keadaan saat itu sambil recovery dari ‘sesuatu’ rasanya luar biasa. Luar biasa hancurnya haha. Tapi ternyata, gue bisa – bisa aja, sama kayak yang lain. Selain menyiapkan display karya personal, gue kebagian menulis dan merangkai kata seperti yang sedang kalian baca ini.”
Acong : “Persiapan open lab awalnya bingung, karena harus nyiapin untuk yang kolektif dan juga yg individu, di tambah lagi peralatan mulai dari ngemural map jakarta dan jagakarsa sampai proses instalasi tidak memiliki alat yg memadai, jadi semua meminjam ke studio-studio yg ada di Gudside. Proses instalasi juga begitu, mengingat ruang kelas dengan permukaan yg tidak rata karena dari kontainer, jadi harus mikirin gimana masangnya, gimana artistiknya biar menarik dengan keadaan begitu.”
Q3 : “Apa yang ingin di sampaikan di openlab kali ini?”
Lilu : “Pada OpenLab kali ini kami ingin menjadikan PSS Duren sebagai sebuah kolektif, untuk memperkenalkan kami kepada publik, serta menjelaskan apa saja yang kami lakukan. Sebagai PSS Duren, kami juga memiliki TEINC sebagai unit bisnis kami, dimana kami mengundang dan mengakomodasi seniman dari luar lingkup Gudskul dan Ruangrupa untuk melakukan residensi. Kami juga melakukan pemetaan sekitar Jagakarsa dalam proses untuk membuat sebuah Peta Jasa Kreatif Jagakarsa untuk memudahkan seniman residensi dalam berkarya.”
Q4 : “Apa saja konten dalam openlab kali ini? Kalo ada, antusiasnya gmna tuh?”
Duta: ”Untuk konten kita si kita mulainya dengan mengadakan workshop dan diskusi,ada workshop cyanotype dan marbling dan ada diskusi dengan raws syndicate,nah untuk workshop sendiri antusiasnya sangat bagus si,jadi kenal banyak orang juga dari workshop. Perihal diskusi si menurut gue sangat menarik ya,karena topik yang dibicarain dan di presentasiin dari raws syndicate juga mnarik banget.”
Q5 : “Nemu kendala ga si selama openlab? Kalo ada boleh di ceritain dong kendala apa saja saat prosesnya?”
Acong : “Untuk aku sendiri cukup kelabakan, karena tidak memiliki basic di kesenian, namun mengingat open lab itu akhirnya belajar, dan juga bisa lebih saling mengenal pola-pola karakter kerja setiap orang itu gimana”
Q6 : “Siapa aja sih yang terlibat dalam openlab kali ini dan boleh ceritain, perorangnya itu menampilkan apa aja?”
Hilal: “Tentunya yang terlibat teman-teman PSS, ada 6 orang dengan pendekatan karya yang berbeda, namun secara besar ada yang menangkat isu lingkungan, perempuan, kesehatan mental dan fenomena keseharian. Dalam karya Duta dan Acong, mereka menangkap isu lingkungan, Duta yang bermain dengan isu air bersih berangkat dari pengalaman pribadinya yang resah dengan lingkungan tempat ia tinggal. Duta ingin mengkampanyekan pola hidup yang melestarikan air sebagai salah satu sumber penghidupan dengan fokus pada kota Jakarta—sebagai latar ruang di mana Duta tinggal. Keresahannya tersebut telah memicu Duta meriset untuk mengetahui berbagai metode untuk memuliakan air, dan juga mengangkat tema air dalam karya-karyanya yang banyak menggunakan metode seni lukis abstrak, yang ia lakukan yaitu mengembangkan teknik lukis abstrak dari bahan-bahan yang disediakan dari sekitar rumahnya. Kritik sosial mengenai kota tercermin dalam lukisan yang dibuatnya. Sedangkan Acong ingin menyuarakan keresahannya atas fenomena asap di Sumatra, tempat ia tinggal. Karena Acong tertarik sekali dengan teknis cukil, maka ia mengartikulasikan temuannya ke dalam medium grafis. Proyek seni berjudul Cukil Asap yaitu sebuah proyek yang secara kritis coba menggugah kembali memori kolektif dalam masyarakat tentang apa yang orang-orang gunakan dalam kesehariannya; . khususnya yang terkait dengan kontribusi mereka terhadap perusakan hutan tropis atau tanah gambut. Acong giat menyebarkan kampanye lingkungan, kritis terhadap produk yang digunakan serta gemar berbagi pengetahuan bersama tentang lingkungan.
Hilal dan Lilu bermain di area keseharian, secara pribadi Hilal membicarakan tentang keseharian masyarakat di kota. Adapun masyarakat dan kota adalah sebuah tema besar yang menarik baginya, keduanya memiliki relasi yang kuat dimana gejolak batin manusia senantiasa bergulat dengan berbagai relasi sosialnya; seperti bisa kita lihat pada coretan-coretan di truk, di dinding kota, potongan-potongan adegan di film, tingkah laku orang-orang di sekitar, dan lainnya. Gambaran momen seperti ini ia kumpulkan dari berbagai sumber literatur, komik, film, ilustrasi, juga dari berbagai sumber yang ia kumpulkan di internet, dan dokumentasi pribadi miliknya sendiri. Sedangkan Lilu, pada karyanya yang berjudul “berjalan, bertamu”, ia ingin mengabadikan bagaimana penduduk kota sebenarnya tidak memiliki batasan yang kaku pada ruang pribadi seperti misal ruang tamu. Yang Lilu potret: sebenarnya adalah aset privat yang dibawa keluar dari ranah pribadi ke ruang publik untuk kemudian dapat dinikmati bersama. Karya-karyanya biasanya berfokus pada isu seputar perempuan dan kesehatan jiwa, dua topik yang ia mengerti dengan mendalam.
Ratih Aditi, mengangkat topik terkait kesehatan mental. Spesifiknya pada area di luar wilayah kota besar ; seperti di desa. Terinspirasi dari sebuah gerakan dengan topik yang sama, dimana mereka memberikan perhatian lebih seperti aktivitas kreatif sebagai sarana pengembangan diri untuk orang dengan gangguan jiwa yang berada di suatu desa di Jawa Timur. Ia ingin merespon hal tersebut dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fasilitas dan diskusi mengenai kesehatan mental terutama jika melihat apa yang terjadi di daerah yang ada di luar wilayah perkotaan. Lalu Solcai yang berbicara mengenai isu perempuan tentang Masturbasi menampilkan beberapa objek istalasi dalam bentuk teks, Karya-karyanya biasanya berfokus pada isu seputar perempuan dan kesehatan jiwa.
Lilu : “Dalam Open Lab kali ini PSS Duren menampilkan 6 seniman, yaitu Hilal, Raditi, Acong, Duta, Solcai dan saya sendiri. Selain dengan TEINC, kami menampilkan projek personal kami, dimana kami berusaha mempresentasikan ketertarikan kami dimana.
Hilal tertarik dengan meme dan interaksi antar manusia, jadi projek personal nya berkutat di arah bagaimana orang dalam bayangannya merepresentasikan diri mereka sendiri dan Hilal kemudian memberikan imajinasi mereka sebuah bentuk visual dengan bantuan aplikasi Faceapp.
Raditi mendiskusikan kesehatan mental dengan organisasi Waluyojiwo, dimana kemudian dia memberikan penjelasan tentang apa itu mental health dan memberikan visual yang menenangkan dimana pengunjung bisa menggambar-gambar santai sebagai sebuah bentuk dari art therapy.
Acong dalam kesempatan ini membahas tentang asap yang menutup Riau dengan berbagai print out penjelasan serta visual yang ilustratif. Duta tertarik dengan air yang ada di sekitar rumahnya, berbicara tentang bakteri dan kemudian mengubah visual bakteri tersebut menjadi berbagai lukisan abstrak.
Solcai tertarik untuk membuka diskusi tentang tabu berbicara akan masturbasi perempuan. Dia membuat sebuah instalasi interaktif dimana dia mengumpulkan opini perempuan tentang masturbasi, apakah mereka pernah melakukan masturbasi, seberapa sering, dan lain lain.
Saya sendiri tertarik dengan kursi dan hubungannya dengan manusia. Berpengalaman mengelilingi Asia Tenggara, saya sering menemukan kursi-kursi di tempat yang paling tidak terduga. Dari sana, saya membahas tentang hubungan kursi dengan ruang publik dan ruang privat, dengan output sebuah instalasi fotografi yang juga berlaku sebagai tempat untuk berfoto.”
Q7 : “Kenapa milih untuk ditampilkan di Gudskul?”
Diti : “karena pada saat desember itu bertepatan dengan open housenya Gudskul, jadi kami dan juga gudskul tentunya, ingin memaksimalkan ruang ruang yang ada. salah satunya ya area kami yang sedang studi (PSS) yaitu di ruang kelas, yang akhirnya dibuka lagi setelah sebelumnya juga direnovasi.”
Q8 : “Harapan apa yang lo taruh di orang orang yang datang waktu melihat openlab lu?”
(Semua) : “Karena ini openlab, sebenarnya kontribusi dari audiens/pengunjung yang melihat si openlab ini penting banget juga. Selain dari pengen mereka tau kami punya gagasan apa dan lagi ngeriset apa. Pengen openlab ini bisa jadi area dan momen buat saling bertukar ide/kritik/saran/insight. Jadi yang terpikir pada saat itu sih pengen dapet insight dari orang – orang, tapi juga mereka dapat insight dari kita.”
“Harapan saya adalah orang-orang dapat melihat dan mengerti apa itu PSS Duren dan cukup tertarik untuk membuat kolaborasi ataupun diskusi bersama kami. Dengan melihat sistem pemetaan kami, untuk ikut berkontribusi, memberikan komentar pun dapat membuat kami untuk menjadi lebih baik lagi.”
“Harapan untuk orang yg berkunjung bisa memberi feedback apa aja, dari feedback yg diberikan mungkin kita bisa mengevaluasi untuk memperbaiki hal2 yg kurang.”
“Harapan gua sih sebenernya bisa mengenal praktik kerja yang kita kerjain, bisa juga hadir dialog-dialog yang nantinya ngebantu proses kerja kami juga kedepannya.”
“Harapannya si siapa tau dengan adanya openlab kita ini ada 2 insan manusia yang di pertemukan di openlab kita dan jodoh hahahaha.”
Q1: “Why OpenLab?”
Hilal: “Actually, the term “OpenLab” was agreed upon by us to show our process of working on several private and joint projects. The final result is still important, but OpenLab itself can help our work process in articulating both personal and joint projects. Interestingly in the middle of the process, there are findings that have never happened before, then we have articulated together.”
Q2: “What are the preparations for OpenLab?”
Diti: “What is certain is that we first agreed on the concept and what we are going to do. Then there were meetings, briefings, brainstorming, research, and role assigning. Technical things, artistic, timeline, what should be displayed, the layout of the design, who does the curatorial text, who drew what, which one was to be collected, which one was private, and et cetera.
Another important thing that is important for us is to be physically fit and mentally ready, because we were racing against time. Making personal projects, preparing everything in its current state while recovering from ‘something’ feels amazing. Extremely exhausting. But as it turns out, I can do it, just like the others. Aside from compiling my personal work, I get to do the writing and stringing up these words you are reading.”
Acong: “OpenLab preparation was confusing for me, because we have to prepare for the collective and also individual projects, plus to gather the equipment needed in order to make a mural map of Jakarta, we end up borrowing from studios around in Gudside. The installation process was complicated, given the classrooms we were using were surrounded with uneven surfaces of the container, so one has to think about how to install the works, how to make it look artistic in such circumstances.”
Q3: “What do you want to convey at OpenLab this time?”
Lilu: “At OpenLab this time we want to make PSS Duren to be acknowledged as a collective, to introduce us to the public, also to explain what we are doing. As PSS Duren, we also have TEINC as our business unit, where we try and look for artists from “How do you make a map?”
Q4: “What are the contents in OpenLab this time? If there is, how enthusiastic is that?”
Duta: “For our content, we started by holding workshops and discussions, there were cyanotype and marbling workshops and there were discussions with raw syndicates. The workshops in itself are very good, as we gained a lot of connections from it alone. Discussions that happened are usually very interesting, and I found the one held and presented by the RAWS syndicate very informative.
Q5: “Did you manage to negotiate with anyone during the OpenLab? Can you share about your process and what you talk about?”
Acong: “For me it was quite frustrating, because I have no foundation in art. With OpenLab, however, I learn from the others as well as understanding how they work together.”
Q6: “Who is involved in OpenLab this time and could you tell us what each one of them presents?”
Hilal: “Talking about PSS Duren, we have 6 people who are interested in a different range of works that raises environmental issues, women, mental health, and everyday phenomena. With Duta and Acong, they talk about environmental issues. Duta with the issue of clean water, departing from his experience from the water around his neighborhood in Jakarta. His unrest then supported him to research about things to save water, and also to raise the theme in his works which mostly use abstract painting methods. Acong, however, wants to speak about his uneasiness about the smoke clouds in Sumatra where he lives. Acong is into woodcut, so he articulates his findings through his graphic arts. His project is called Smoke-Cut (Cukil Asap), is a critical view through the eye of graphic arts where he tries to revive the collective memory in society about what people use in their daily lives, especially the ones related to the ruins of tropical forests or peat soils. Acong actively promotes environmental campaigns, is critical of the products that he used, and likes to share knowledge about the topic.
Hilal and Lilu play around the daily area, Hilal personally talks about the daily life of people in the city. The community and the city are a big theme that appeals to him, both have strong relationships where the human inner turmoil always grapples in various social relations; as we can see in graffiti on trucks, on city walls, snippets of scenes in the movies, the behavior of people around, and others. Images of moments like this he collected from various sources of literature, comics, films, illustrations, also from various sources that he collected on the internet, and his own personal documentation. Whereas Lilu, in his work entitled “walking, visiting”, she wants to capture how city residents actually do not have rigid restrictions on private spaces such as the living room. What Lilu is trying to portrait is actually a private asset that is taken out of the private sphere into the public sphere and can then be enjoyed together.
Ratih Aditi, raising topics related to mental health. Specifically in areas outside the city area; like in the village. Inspired by a movement with the same topic, where they give more attention like creative activities as a means of self-development for people with mental disorders who are in a village in East Java. She wants to respond to this and increase public awareness of the importance of facilities and discussions about mental health, especially if you see what is happening in areas outside the urban areas. Then Solcai, who spoke about the issue of women about Masturbation, presented several installation objects in the form of texts. Her works usually focused on issues around women and mental health.
Lilu: “In this Open Lab, PSS Duren presented 6 artists, namely Hilal, Raditi, Acong, Duta, Solcai and myself. In addition to TEINC, we presented our personal projects, where we tried to present our interests where.
Hilal is interested in memes and interactions between people, so his personal projects revolve around how people in his shadow represent themselves and Hilal then gives their imagination a visual form with the help of the Faceapp application.
Raditi discusses mental health with the Waluyojiwo organization, where then she gives an explanation of what mental health is and provides calming visuals where visitors can draw casual pictures as a form of art therapy.
Acong on this occasion discussed the smoke that covered Riau with various explanatory printouts and illustrative visuals. The ambassador was interested in the water around his house, talked about bacteria and then changed the bacteria’s visuals into various abstract paintings.
Solcai was interested in opening a discussion about the taboo of talking about female masturbation. He made an interactive installation where he collected women’s opinions about masturbation, whether they had masturbated, how often, etc.
I myself am interested in chairs and their relationship with humans. Experienced around Southeast Asia, I often find chairs in the most unexpected places. From there, I discussed the relationship of chairs to public and private spaces, with the output of a photographic installation that also serves as a place to take pictures. “
Q7: “Why choose to present your works in Gudskul?”
Diti: “Because in December it coincided with Gudskul’s open house, so we and of course Gudskul certainly wanted to maximize the available spaces. One of them was our classroom which finally reopened after being renovated. “
Q8: “What hope do you place on people who come when you see your openlab?”
(All): “Because this is OpenLab, actually the contribution of the audience / visitors who see OpenLab is very important too, apart from wanting to know what ideas we have and what we are investigating. Besides, we want this OpenLab to be a space for exchanging ideas / criticism / suggestion / insight. “
“My hope is that people can see and understand what PSS Duren is and are interested enough to make collaborations or discussions with us. By looking at our mapping system, to contribute, giving comments can make us better.”
“I hope people who visit can give any feedback, from the feedback given, maybe we can evaluate it to improve things that are lacking.”
“Hopefully, I can actually get to know the work practices that we do, we can also present dialogues that will help our work processes in the future.”
“The hope is that who knows with our openlab there are 2 human beings who are brought together in our openlab and dating hahahaha.”